balienews.com, – Fenomena konten tak berkualitas di Facebook Pro semakin marak sejak platform ini memperkenalkan fitur monetisasi pada 2021-2022. Banyak kreator kini lebih fokus pada kuantitas demi menghasilkan uang, alih-alih menciptakan konten yang bermanfaat. Hal ini menimbulkan dilema antara peluang penghasilan dan pentingnya menjaga kualitas konten.
Dampak Fokus pada Penghasilan
Facebook Pro, yang mulai beroperasi di Indonesia pada 2024, menawarkan peluang monetisasi melalui fitur seperti iklan, video pendek (shorts), dan gift. Namun, fitur ini justru mendorong banyak kreator untuk mengutamakan kuantitas konten demi meraih penghasilan, tanpa mempertimbangkan relevansi atau manfaat konten tersebut.
Seperti yang diungkapkan oleh Aidhil Pratama, seorang ASN dan penulis dari Kompasiana.com, “Kenyataannya, lebih banyak kreator yang lebih mengutamakan kuantitas konten demi mendapatkan uang, tanpa memikirkan relevansi atau manfaat dari konten tersebut.”
Akibatnya, konten yang viral seringkali hanya berisi teks acak, gerakan tidak jelas, atau bahkan momen pribadi yang seharusnya tetap privat. Meski mendapat banyak interaksi, konten semacam ini dinilai tidak etis dan hanya berfokus pada monetisasi tanpa empati terhadap audiens.
Tantangan Pengguna Senior dan Algoritma Facebook
Tidak hanya generasi muda, Facebook Pro juga digunakan oleh pengguna senior yang mungkin belum sepenuhnya memahami cara kerja algoritma platform ini. Algoritma Facebook dirancang untuk memprioritaskan konten dengan interaksi tinggi, seperti likes, shares, dan komentar. Hal ini mendorong kreator, termasuk pengguna senior, untuk mengejar konten viral meski kualitasnya rendah.
Aidhil Pratama menambahkan, “Banyak pengguna Facebook Pro berasal dari kalangan orang tua yang mungkin tidak sepenuhnya paham bagaimana algoritma platform ini bekerja.”
Menurut NPR, algoritma Facebook semakin mendorong konten berbasis performa, termasuk gambar dan video yang dihasilkan oleh AI, hanya untuk mendapatkan klik. Situasi ini semakin membingungkan bagi pengguna senior yang tidak terbiasa dengan tren viral atau taktik clickbait.
Koming, seorang warganet, mengeluh, “Kadang ngerasa tertipu sama konten clickbait. Judulnya wow, isinya meh. Facebook harus mulai beresin algoritma biar yang bener-bener bagus nggak kalah sama yang cuma cari viral!”
Solusi dan Keseimbangan Kualitas
Untuk mengatasi masalah ini, keseimbangan antara monetisasi dan kualitas konten menjadi kunci. Kreator perlu fokus pada personal branding dan menciptakan konten yang memberikan nilai lebih bagi audiens.
Aidhil Pratama menekankan, “Kualitas konten tidak hanya terletak pada apa yang kita buat, tetapi juga pada seberapa banyak nilai manfaat yang kita beri pada audiens.”
Misalnya, konten tutorial tentang memasak atau teknologi tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga memberikan manfaat jangka panjang. Agung, seorang wirausaha dan juga konten kreator, mengungkapkan dilemanya, “Dilema banget sih! Mau bikin konten bermanfaat, tapi engagement rendah. Sementara yang asal-asalan malah naik. Tantangannya adalah bagaimana tetap kreatif tanpa kehilangan jati diri. Personal branding memang jadi solusi terbaik!”
Platform seperti Facebook juga perlu menyesuaikan algoritmanya agar lebih menghargai konten berkualitas, bukan hanya konten dengan interaksi tinggi. Dengan demikian, kreator akan lebih terdorong untuk membuat konten yang bermakna dan bermanfaat.
Kesimpulan
Fenomena konten tak berkualitas di Facebook Pro mencerminkan tantangan besar dalam dunia digital. Meski monetisasi menawarkan peluang penghasilan, fokus utama kreator seharusnya tetap pada kualitas konten. Dengan menjaga keseimbangan antara kuantitas dan kualitas, kita dapat menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Bagaimana pendapat Anda tentang fenomena ini? Apakah Anda setuju bahwa kualitas konten harus diutamakan? Berikan komentar dan bagikan artikel ini untuk mendorong diskusi tentang masa depan konten digital! (BEM)