Denpasar, Balienews.com – Usulan bertahap terhadap kebijakan pelarangan air minum dalam kemasan (AMDK) kembali mencuat. Direktur Utama CV Tirta Taman Bali, I Gde Wiradhitya Samuhata, menyarankan agar Pemerintah Provinsi Bali memulai pelarangan dari AMDK berukuran di bawah 500 ml, bukan langsung pada kemasan di bawah 1 liter.
Dampak Kebijakan Terhadap Industri AMDK
Usulan ini muncul sebagai respons atas rencana Gubernur Bali Wayan Koster untuk melarang produksi AMDK di bawah 1 liter mulai tahun 2026. Menurut Wiradhitya, kebijakan tersebut dapat memukul industri lokal yang masih sangat bergantung pada penjualan kemasan kecil, khususnya ukuran 500 ml hingga 1 liter.
“Berharap kebijakan ini bisa dievaluasi dan dijalankan bertahap, misalnya dimulai dari pelarangan cup atau kemasan di bawah 500 ml terlebih dahulu,” ujar Wiradhitya di Denpasar, Kamis (19/6).
Ia mengungkapkan bahwa perubahan kebijakan yang terlalu cepat bisa berdampak serius terhadap tenaga kerja lokal. Perusahaannya sendiri mempekerjakan 120 karyawan, dan banyak pabrik lain yang akan terdampak jika penjualan kemasan kecil dihentikan secara mendadak.
Data Industri AMDK di Bali
Merujuk data dari Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin), terdapat 16 dari 18 pabrik AMDK di Bali yang mengandalkan penjualan kemasan di bawah 1 liter. Jika satu pabrik saja mempekerjakan minimal 90 orang dalam satu shift, potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa menyentuh ratusan bahkan ribuan tenaga kerja.
“Kemarin ASPADIN bilang dari 18 yang terdaftar ada 16 yang bergantung di bawah satu liter, 16 kali 90 paling tidak ya, itupun di satu pabrik cuma satu shift,” kata Wiradhitya.
Perlu Regulasi yang Menyeluruh untuk Semua Sampah Plastik
Selain membahas AMDK, pengusaha juga menyoroti jenis sampah plastik lain seperti botol minuman soda, sachet, dan plastik sekali pakai lainnya yang belum masuk dalam regulasi Pemprov Bali. Menurut Wiradhitya, sampah dari jenis-jenis tersebut juga perlu mendapat perhatian dalam kebijakan lingkungan.
Hingga kini, rapat-rapat antara pelaku usaha dan Gubernur Bali belum membahas sampah jenis lain secara spesifik. Padahal, tumpukan sampah di Bali bukan semata berasal dari AMDK, melainkan dari berbagai sumber yang belum tertangani dengan baik.
Perlu Perbaikan Sistem Pengelolaan Sampah
Dalam pandangan Wiradhitya, pengelolaan sampah sebaiknya dimulai dari tingkat rumah tangga dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA), bukan langsung menyasar produsen.
“Permasalahan utama yang dipaparkan saat rapat pertama dengan Gubernur Bali adalah soal pengelolaan sampah dari rumah tangga hingga TPA, bukan dari sisi produsen atau distributor,” jelasnya.
Ia menyarankan agar Pemprov Bali memprioritaskan efektivitas pengelolaan sampah dari sumber terlebih dahulu. Jika tingkat keberhasilan sudah di atas 70 persen namun masalah sampah masih terjadi, barulah pengetatan terhadap produsen dilakukan.
Usulan pelarangan AMDK secara bertahap dari kemasan di bawah 500 ml menunjukkan pentingnya transisi kebijakan yang mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi. Penguatan sistem pengelolaan sampah juga menjadi hal krusial untuk mendukung tujuan lingkungan berkelanjutan di Bali. (BEM)