Tabanan, Balienews.com — Cakupan pengobatan Tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Tabanan masih belum optimal. Dinas Kesehatan Tabanan mengungkapkan bahwa ketakutan masyarakat untuk memeriksakan dahak menjadi salah satu kendala utama dalam upaya penemuan dan penanganan kasus. Fakta ini disampaikan dalam Forum Konsultasi Publik Triwulan II Dinas Kesehatan Tabanan, yang digelar pada Kamis (31/7/2025).
Temuan Data: Kasus Tinggi, Penanganan Rendah
Dalam paparannya, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Tabanan, dr. Anak Agung Ngurah Putra Wiradana, mengungkapkan bahwa berdasarkan Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB), sejak 2020 hingga Juni 2025, estimasi kasus TBC di Tabanan konsisten lebih tinggi dibanding jumlah kasus yang ditemukan.
Sebagai contoh, dari 995 kasus yang diperkirakan terjadi pada 2020, hanya 197 kasus yang berhasil ditemukan dan ditangani, atau sekitar 20 persen. Angka penemuan kasus sempat meningkat pada 2024 dengan 304 kasus dari 602 estimasi (50,5 persen), namun kembali menurun pada semester pertama 2025 menjadi hanya 138 kasus dari 599 estimasi (23 persen).

Penyebab Rendahnya Penemuan Kasus
Menurut dr. Agung, salah satu tantangan terbesar adalah kekhawatiran masyarakat terhadap hasil pemeriksaan dahak yang mungkin menunjukkan mereka positif TBC. Ketakutan ini membuat sebagian besar enggan melakukan pemeriksaan meski mengalami gejala seperti batuk berkepanjangan.
“Masih ada tantangan besar dalam meningkatkan cakupan penemuan dan pengobatan kasus TBC,” ujar dr. Agung. “Salah satunya adalah ketakutan masyarakat untuk memeriksakan dahak karena khawatir hasilnya positif.”
Angka Kesembuhan dan Kendala Lanjutan
Data tahun 2024 mencatat bahwa dari seluruh pasien TBC Sensitif Obat (SO) yang menjalani pengobatan, 42 persen dinyatakan sembuh dan 39 persen menyelesaikan pengobatan. Namun demikian, 13 persen meninggal dunia, 4 persen mengalami putus pengobatan (loss to follow-up), sementara sisanya mengalami kegagalan pengobatan atau belum dievaluasi.
Kasus loss to follow-up disebabkan oleh berbagai faktor, seperti efek samping obat (alergi), hasil laboratorium tidak normal (SGOT/SGPT tinggi), hingga pasien yang berpindah tempat tinggal tanpa informasi jelas.
Kurangnya Kesadaran dan Kolaborasi
Dinas Kesehatan juga menyoroti minimnya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri ketika muncul gejala. Tak jarang, pasien justru menyembunyikan keluhan. Selain itu, peran lintas program dan lintas sektor dinilai belum maksimal dalam edukasi dan penyuluhan masyarakat mengenai bahaya TBC dan pentingnya deteksi dini.
“Kami terus mendorong peran aktif fasilitas layanan kesehatan serta kolaborasi lintas sektor untuk mendekatkan edukasi dan layanan ke masyarakat,” tegas dr. Agung. “Tanpa kesadaran bersama, TBC sulit dikendalikan.” (BEM)